Berjalan Kaki Sepulang Kantor

Ervina Lutfi
3 min readNov 5, 2023

--

Photo by Adrian Pranata on Unsplash

Beberapa waktu belakangan ini, untuk alasan yang cukup absurd, aku jadi ‘agak suka’ naik public transport sepulang kantor. Biasanya aku mengambil rute dengan berjalanan kaki ke stasiun LRT terdekat, lalu nyambung naik KRL hingga ke BSD. Kemarin aku bahkan naik bis orens BSD meski harus puas dengan ojek sampai rumah karena salah rute.

Karena sistem tata kota dan transportasi umum yang ‘beginilah di Jakarta’ ini, secara tidak langsung aku jadi lebih sering jalan kaki. Aku jalan dari kantor ke LRT, dari LRT ke KRL, dari KRL ke Terminal Intermoda. Dan ketika berjalan kaki menyusuri jalanan Jakarta yang ramai, aku merasa ada hal-hal yang kembali memeluk ingatanku pada awal-awal kehidupan sebagai anak kost di Jakarta.

Waktu itu, ketika masih berkantor di Tebet Dalam, ada hari-hari di mana aku lebih senang pulang kerja dengan jalan kaki. Perjalanan pulangku biasanya menyusuri Tebet Raya, lalu melewati kampung-kampung di Palbatu menuju kostku di Persada Raya. Selain tentunya lebih hemat ongkos, jalan kaki sepulang kerja waktu itu memberiku jeda untuk melihat-lihat Jakarta yang ramai dengan lebih perlahan — dari kacamata orang yang tidak sedang buru-buru.

Kota ini, entah kenapa membuatku sangat kemrungsung untuk semua hal yang kujalani. Aku selalu buru-buru sampai, selalu tidak sabar melakukan sesuatu, dan selalu khawatir ketinggalan. Berjalan kaki sepulang kantor, berpindah dari satu moda ke moda lainnya, membuatku kembali merasakan perasaan ‘yo wes lah’ seperti yang dulu kerap kurasakan ketika kepepet.

Biasanya sepulang kantor, Jakarta tidak terlalu panas — antara sudah gelap, atau minimal matahari sore tidak terlalu membakar kulit. Berbekal headset murahan dan lagu-lagu dari Banda Neira, dulu aku kerap berjalan kaki santai sambil sesekali mikir apakah hidup yang kayak gini-gini aja akan berlanjut di tempat ini atau ada opsi lebih menyenangkan yang bisa kuambil di tempat lain?

Tidak terasa sekarang sudah 7 tahun semenjak sore-sore di Tebet itu; ada banyak hal yang berubah dan ada lebih banyak yang tidak sama sekali. Banda Neira sudah bubar dan tidak ada lagu baru dari mereka yang kudengarkan di sore-sore sepulang kantor menuju rumah. Jakarta sudah punya MRT dan LRT yang terkoneksi meski jalan kakinya cukup effort.

Aku sudah melewati serangkaian peristiwa panjang soal apapun; pekerjaan, cinta, kehidupan, dan ternyata dalam kurun waktu 7 tahun tersebut aku sudah mumutuskan untuk memilih haluan dan kapalku mungkin hampir bersandar di dermaga.

Tentu saja sekarang kondisi jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Hanya saja ada sebuah ‘hal’ di kepalaku yang aku sulit menerjemahkannya. Mungkin ini berkaitan dengan pikiran-pikiranku di pinggir jalan tempo hari tentang apakah hidup yang begini-begini saja akan belanjut di tempat ini atau ada opsi lebih menyenangkan yang bisa kuambil di tempat lain?

Jakarta di sore hari menunjukkan wajahnya yang cukup beringas — suara klakson kendaraan yang terburu-buru, motor pelawan arus, hingga gerobak-gerobak kaki lima yang menyesakkan trotoar. Namun, dengan berjalan kaki — terlebih sepulang kantor, seolah aku dibuat merasa santai dan nggak usah buru-buru. Santai karena kalau ketinggalan kereta akan ada kereta lainnya 10 menit kemudian. Nggak usah buru-buru karena napasmu jadi nggak teratur.

Aku berjalan santai nggak peduli jam berapapun sampai rumah. Dan di jalan aku kerap berpikir, mungkin memang hidup yang begini-begini aja akan berlanjut di tempat ini. Dermaga sudah terlihat di depan mata dan kapalku siap bersandar. Memang hidup itu begini-begini aja, mau bagaimana lagi?

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”