Bukan Developer, Tapi Kerja Remote

Catatan-catatan dari marketer yang punya privilege bisa kerja jarak jauh.

Ervina Lutfi
4 min readMar 16, 2020
work from home and chill

Menyusul adanya himbauan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai bekerja dari rumah untuk memperlambat laju penyebaran Covid-19, istilah work from home kini tiba-tiba diperbincangkan oleh banyak orang.

Sejak awal saya kerja, technically saya sebenarnya juga melakukan ‘work from home’ alias nggak pernah ke kantor. Saya mengawali karier sebagai freelancer. Dulu ketika kost-kostan masih panas, coffeeshop di Jogja yang playlist musiknya indie adalah tempat favorit untuk bekerja. Kemudian saya mendapatkan pekerjaan full-time saya untuk pertama kali ketika tahun terakhir kuliah, itu pun masih bersifat remote. Saya melakukan wawancara di kost-kostan — belum mandi jujur aja.

Kami sebenarnya punya kantor di Jogja, tapi atasan saya di Singapore. Dan karena itu, sejak pertama kali kerja, praktis saya menjalani work from home. Justru ketika akhirnya saya pindah dan berkantor di Sudirman, saya agak bingung gimana caranya mengubah kultur bekerja dengan orang yang saya temui 5x8 jam seminggu.

Komunikasi [tertulis] menjadi kunci

Sebagai pekerja yang jarang ketemu atasannya, komunikasi menjadi sangat penting. Apalagi jika kalian berbeda negara dan bahasa. Hal penting yang perlu diingat: manusia mudah lupa. Jadi, selama bekerja remote, kami sangat menjunjung tinggi kultur menulis.

Apa saja yang kita diskusikan, dicatat dan disimpan rapi. Apa yang dibicarakan melalui telepon, dirangkum kembali via chat atau email. Semua ide ditulis, feedback disimpan rapi. Tujuannya adalah untuk mengingat, mengingat, dan mengingat.

Ada banyak sekali rencana dan pekerjaan yang berubah. Jadi kita harus memiliki satu pegangan penting yang disepakati semua orang, yakni dokumen tertulis.

Kalian bisa pakai tools kolaborasi seperti Quip atau Confluence untuk mendokumentasikan pekerjaan kalian.

Cukup-5-menit

Sambil membangun kultur menulis, hal berikutnya yang tidak kalah penting adalah membangun kultur cukup-5-menit. Bicara langsung dan melalui telepon/video call memiliki vibes yang berbeda. Katanya, orang cuma akan menyimak omongan orang di telepon selama 5 menit pertama, setelah itu cuma didengerin aja. Mungkin memang nggak semua orang kayak gini ya, tapi kultur ini seenggaknya mengajarkan kita untuk bekerja efektif.

Remote working tidak mengubah meeting di ruangan jadi video call berjam-jam.

Ide dari bekerja remote sebenarnya adalah efektivitas. Jadi kalau misalnya, kamu kerja remote, tapi meeting aja takes a lot of your time, ya ironis aja. Rangkum semuanya dalam draft meeting yang berisi poin-poin, ide, dan segalam macamnya. Berikan draft 15 menit sebelum meeting dimulai agar setiap orang membacanya dulu.

Bahas satu per satu sesuai draft hanya untuk apa yang ingin ditanyakan atau didiskusikan. Jangan presentasi dalam meeting. Gunakan prinsip cukup-5-menit.

Berikan konteks pada setiap hal

Ketika kamu bekerja jarak jauh, ada banyak hal yang mungkin terlewatkan karena kalian ga saling ketemu satu sama lain. Di titik ini, konteks menjadi sangat penting. Orang akan sangat bingung kalo awalnya A tiba-tiba B, lalu C. Selain memberikan kejelasan pada setiap tugas yang dikerjakan, hal ini juga meminimalisir adanya pertengkaran.

Transparansi adalah kunci

Transparansi menjadi kunci penting yang harus dihargai dan dijunjung tinggi dalam proses kerja jarak jauh. Dulu ketika saya masih membagi waktu untuk kuliah dan bekerja, saya memiliki jadwal di mana saya komitmen akan bisa dihubungi dan bekerja pada waktu itu.

Selain itu, kami juga punya log activity (modelnya kayak daily standup meeting versi orang males) yang meskipun jarang-jarang diisi, tapi ternyata sangat useful untuk ngetrack apakah saya cukup produktif atau enggak atau apakah kerjaan saya on track atau enggak.

Hal-hal seperti ini menjadi penting karena kalian nggak bisa ketemu satu sama lain dan nggak saling ngawasin masing-masing ngerjain apa.

Just in case kalian bener-bener no idea gimana, kalian bisa pakai template ini: bit.ly/wfhfordummy

Hal-hal tersebut, kesannya memang basic dan semua orang kayaknya juga tau. Tapi yakin deh, ternyata remote working bukan semata-mata ‘cara’ tetapi juga ‘kultur’. Dan ini nggak segampang itu dilakukan, bahkan ketika pekerjaan itu super-super bisa dikerjain jarak jauh, orang masih bingung how-to-do-nya dan yang terpenting: how to consistent.

So yeah, yang penting lagi adalah komitmen. Yakni meliputi kemauan untuk melakukan apa yang telah kita sepakati bersama, termasuk ngetrack harian, ngereport tertulis setiap hal, dst.

Ohya, nggak lupa, demi kelangsungan gajian Ervina, kalian bisa juga pakai aplikasi Attendance by Talenta juga. Aplikasi ini membantu kalian buat absen dan ngasih tau kalo kalian udah kerja di hari itu. Prinsipnya adalah check-in dan check-out.

Jadi, ajak manager kalian buat download dan ngeset jadwal kerja di aplikasi Attendance by Talenta, lalu invite team membernya untuk join. Setiap kali kalian mulai kerja, kalian bisa check-in, begitu pas selesai, kalian bisa check-out. Lokasi kalian akan secara akurat terdeteksi dan manager bisa mantau kerja kalian di mana aja.

Selama periode ini, kita kasih gratis hingga 120 hari. Kalian bisa cek info selengkapnya di sini: bit.ly/demiervinagajian

Semoga krisis ini cepat mereda yah, dan bersyukurlah kita yang masih bisa kerja dari rumah. Stay safe everyone!

--

--

Ervina Lutfi

In this writing, I delve into my inner thoughts and reflections.