Kemiskinan dari Jarak yang Cukup Dekat — Part 1

Ervina Lutfi
4 min readJun 9, 2023

--

source: pixabay.com

Aku menyadari pertama kali bahwa keluarga kami ‘miskin’ adalah ketika aku mulai ‘jauh’ dari rumah. Kira-kira waktu SMP dan berlanjut makin menjadi-jadi di SMA dan sampai sekarang. Ketika aku SD, menurutku hidupku biasa aja. Malah relatively lebih ‘mendingan’ dibanding orang-orang di sekitarku.

Dulu ketika taman kanak-kanak, ada temanku yang selalu diantar neneknya karena ibunya jadi TKI nggak pernah pulang dan bapaknya embuh. Ada juga ketika SD temanku yang saking susahnya, seragam merah putihnya itu jadi merah kuning kecokelatan. Intinya sejak kecil aku hidup di tengah-tengah orang yang miskinnya esktrem; makanya aku merasa hidupku udah jauh super beruntung.

Paling tidak, aku punya ibu yang selalu masak makanan enak dan bergizi. Bapakku masih kerja dan menghasilkan uang yang cukup untuk ngasih les apa aja yang aku mau; termasuk les komputer — suwun ya Allah untung dulu aku ngide belajar komputer ya.

Ketika aku SMP, aku mulai paham bahwa teman-temanku jauh lebih kaya. Ada anak yang diantar-jemput naik Honda Jazz tiap hari. Ada orang yang rumahnya mirip sama rumah-rumah di sinetron yang kutonton — ada AC sama kolam renangnya, dan keluarganya punya yayasan sekolah. Hmm, semiskin itu ya, sampai melihat Honda Jazz dan rumah ber-AC aja udah keliatan wow.

Ketika aku SMA, aku benar-benar paham bahwa kami memang cukup miskin. Memang bukan yang paling miskin, tapi cukup bisa dibilang miskin. Aku masuk ke sekolah cukup elit di ibukota provinsi dengan modal keberuntungan jadi anak olimpiade matematika cukup bergengsi di tingkat nasional.

Ketika aku SMA, teman-temanku memiliki orang tua dengan kondisi ekonomi yang cukup tinggi. Bapak-ibunya teman-temanku beragam, dari yang petinggi Polda, dosen, pejabat kota/provinsi, sampai koruptor — semuanya ada. Tentu nggak semua orang kaya-raya, tapi di tengah-tengah mereka, aku menyadari aku cukup miskin.

Kemudian aku kuliah di tempat yang orang tua teman-temanku, mengutip salah satu pejabat akademik di kampusku dulu, “Iuran segini ini ya nggak berasa Mbak, buat orang tua anak-anak sini, wong yang gajinya di atas Rp100 juta itu banyak..”

Aku lalu tahu si A anaknya Direktur Compliance di bank X, lalu si B anaknya Direktur HR di perusahaan FMCG terkemuka di Jakarta, si C anaknya profesor di fakultas Z, dan masih banyak lagi. Hal-hal itu membuatku selalu mikir, aku nggak tahu harus sedih atau merasa beruntung ada di tengah-tengah mereka.

Ketika akhirnya bekerja dan menghasilkan uang sendiri, ada hal-hal sentimentil yang sangat ingin kumiliki sesimpel karena aku memang nggak pernah punya dari kecil. Misalnya ketika aku ingin MacBook. Aku pernah di fase seingin itu punya MacBook sampai harus kerja double di tengah sibuknya kuliah.

Aku masih ingat demi mengejar flight paling murah ke Jakarta, dari Jogja aku berangkat naik maskapai yang terkenal ngaret. Pilih flight paling malem karena aku dan temanku masih kuliah sampai jam 5 serta tetek-bengek urusan kampus. Nyampai Jakarta jam 2 pagi, jam 7-nya udah di kantor klien. Hari itu juga kembali ke Jogja untuk besoknya kuliah jam setengah 8 pagi.

Kayak nggak ada capek-capeknya sih.

Makanya kalau sekarang aku fulltime untuk satu kerjaan aja tuh rasanya sepele.

Manalah gajinya berkali-kali lebih banyak pula. Berasa enteng banget kan LOL.

Selain pernah seingin itu punya MacBook, aku juga pernah seingin itu punya mobil. Entah berapa kali aku selalu mau nangis ketika nemuin jaket dan helmku tau-tau basah di parkiran ketika balik kampus, padahal paginya aku kebakar matahari ketika berangkat dari kosan. Dulu aku selalu mikir, “Wah kalau aku punya mobil sendiri mesti nggak segini susah ya.”

Lebih spesifik aku ingin punya SUV. Akibat dulu ketika SMA aku punya teman yang dengan bangganya nyeritain hari ini dia bawa mobil bapaknya yang matic tapi bisa mode sport. Katanya nyetirnya “seru banget tau, beda deh pokoknya sama mobil yang biasa aku pakai” dan lain-lain. Meski aku baru afford beli mobil SUV dengan cicilan 3 tahun, itupun setelah patungan dengan suami, tapi rasanya seneng aja. Kayak perjalanan untuk ke sana tuh “sereligius itu” gitu.

Makanya meski kelas menengah kota sering nyinyirin “orang Jakarta nggak perlu beli mobil” atau kelas menengah lainnya komen “gue kalau masih nyicil sih mending sewa yah” aku tidak terlalu peduli. Sesimpel karena menurutku mereka tidak pernah di posisi sesentimentil aku.

Menyadari aku dan keluargaku ‘miskin’ membuatku cukup ‘aware’ ada hal-hal yang harus mati-matian kuusahakan, namun ada juga hal-hal yang kulewatkan dengan lapang dada. Misalnya saja aku selapang-dada itu nggak pernah ikutan student exchange atau semacamnya. Simply karena menurutku bapakku bayar UKT 3 jutaan aja ngos-ngosan, gimana kepikiran bayarin exchange — ya kan?

Aku juga jadi lebih sadar pada bagaimana caraku memandang uang yang kumiliki saat ini — bahwa sekecil, sesedikit apapun itu berharga. Di sisi lain aku juga menjadi lebih berempati pada orang-orang yang memang miskin — miskin yang nggak bisa dipahami teman-temanku di Jakarta, miskin yang sulit dimengerti saking berakarnya kemiskinan itu dan runyam banget mau diurai dari mana.

Aku juga merasa lebih bersyukur meski hidupku kentang dan gini-gini aja, tapi ternyata aku udah jalan ‘sejauh’ itu. Aku merasa bersyukur karena meskipun keluarga kami ternyata cukup miskin, tapi mereka masih mau dan mampu nyekolahin aku — dibanding orang tua teman-teman SDku, misalnya?

Sekarang aku selalu bangga jadi perempuan yang bekerja, punya karier, menghasilkan puluhan juta tiap bulannya. Sampai titik tercapekku, atau minimal sampai kayak kondisi orang tua teman-temanku dulu, aku rasa aku ingin selalu bekerja dan menghasilkan uang. Bukan karena aku keracunan feminisme, atau ambis, atau apa, tapi sebagai rasa syukur dan apreasiasi atas semua hal yang sudah dilakukan selama ini.

— bersambung ke part 2.

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”