Memahami Perspektif Perempuan Seperti Ibu

Ervina Lutfi
3 min readJan 18, 2024

Belakangan ini diskursus mengenai perempuan A vs. perempuan B menjadi sangat liar. Pasalnya tidak hanya sebatas julidan ibu-ibu di kampung, hadirnya media sosial berikut gelombang orang-orang yang konon disebut influencer itu membuat setiap aspek kehidupan mereka menjadi tontonan publik. Hal-hal yang tadinya menjadi keputusan personal, atau cukup dijadikan bahan julid keluarga, mentok-mentok sekampung, sekarang bisa jadi bahan war sejagat maya.

Photo by Usman Yousaf on Unsplash

Aku tidak akan heran dan menganggap hal-hal tersebut sebagai.. keputusan personal? Buatku yang cukup menyedihkan adalah bagaimana media sosial dengan demografi orang yang tidak bisa kita kontrol keberadaan dan cara berpikirnya itu jadi tempat yang seru banget untuk membentuk polarisasi. Hitam vs Putih. A vs B.

Dalam hal ini; misalnya perempuan bekerja atau tidak bekerja, perempuan pakai suster atau mengasuh sendiri, perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah vs perempuan yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, perempuan yang memasak vs perempuan yang tidak memasak.

Ada banyak hal yang belum kusebutkan, namun polanya selalu seperti itu. Ada 2 hal yang ‘seolah-olah’ negasi satu sama lain dan ketika seseorang mengambil pilihan A maka ia adalah seteru dari mereka yang mengambil pilihan B.

Sebagai perempuan yang dibesarkan oleh seorang ibu rumah tangga, belakangan aku mencoba untuk lebih memahami perspektif orang-orang yang pilihannya ‘sedikit berbeda’ denganku — orang-orang seperti ibuku.

Tidak perlu jauh-jauh, aku mencoba paham kenapa ibuku dulu resign dari pekerjaannya sebagai ‘buruh’ di Jakarta untuk diperistri orang seperti bapakku. Semua hal beralasan dan untuk hal-hal yang sangat unik dan personal itu, aku rasa setiap orang berhak untuk mengambil tindakan apapun, termasuk ibuku.

Apakah kemudian ibuku menyesal?

Tentu saja. Ibu menyesal tidak memiliki sumber ekonomi sendiri dan harus menggantungkan hidup pada laki-laki yang menjadi suaminya. Ibu barangkali menyesal karena dengan ketidakmampuannya secara ekonomi itu, ada banyak hal yang terlewat untuk menyenangkan kami anak-anaknya.

Tetapi apakah pilihan Ibu salah?

Belum tentu. Karena apa yang menjadi pola pikirku dan menjadikanku perempuan seperti sekarang ini, juga karena didikan ibuku. Aku melalui masa sekolah yang menyenangkan; setiap hari diantar dan ditunggui sampai pulang sekolah, didatangi pentasnya dan diapreasi berlebih karena ibu punya sebanyak itu waktu bersamaku.

Namun, barangkali secara personal aku melihat pengalaman menjadi perempuan seperti Ibu tidak semenyenangkan itu, makanya aku memutuskan untuk menghasilkan uangku sendiri ketimbang menggantungkan hidupku pada laki-laki yang menjadi suamiku. Tentu hal ini juga terjadi atas dukungan 100% dari ibuku. Artinya ibu sebagai perempuan juga memahami perspektifku yang mengambil pilihan berbeda dengannya.

Segala hal yang terjadi padaku — segala keambisan untuk sekolah yang bagus, panjat karier, panjat gaji, dan segalanya, bisa jadi karena pengalaman personalku dibesarkan oleh perempuan seperti ibu.

Kurasa tidak ada yang salah dengan pilihan setiap orang. Kebebasan tertinggi yang mestinya kita, sesama perempuan perjuangkan adalah bebas untuk memilih itu sendiri.

Maka menyebutkan pihak yang berbeda pilihan dengan kita sebagai ‘emak-emak sebelah’ menurutku membuat kita tidak ada bedanya dengan mereka — tentu sebutan ini dipenuhi prasangka yang menganggap diri ini lebih baik, bijak, berpikiran terbuka, dan segala macamnya.

Menurutku manusia bisa dengan mudah berubah pikiran. Soal sefundamental memilih pasangan aja kita bisa berubah— apalagi untuk hal remeh-temeh ini. Bagiku sendiri, apa yang kuyakini hari ini juga mungkin terjadi karena kondisi-kondisi yang memungkinkan. Bisa jadi, nanti jika kondisinya berubah, maka pemikiranku akan berubah.

Sebagai alternatif, ketimbang kekeuh dengan prinsip-prinsip yang menggarisbawahi aturan hitam-putih, aku lebih setuju dengan cara yang kusebut.. hidup fleksibel.

Lagi nggak suka bersih-bersih rumah, bisa hire cleaning service.

Sedang ingin makan makanan yang tidak banyak dijual di BSD, aku bisa masak sendiri. Lagi nggak ada waktu? Beli yang di Grab aja.

Pun kalau nanti kami memutusan punya anak, aku rasa keputusan-keputusan terkait itu akan diambil secara fleksibel — seenaknya gimana aja.

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”