Menikmati Kesedihan sebagai Orang Dewasa

Ervina Lutfi
2 min readNov 8, 2023

--

Photo by Alexander Grey on Unsplash

Setelah aku dewasa, sungguh aku menjadi sangat luar biasa sibuk. Ada pekerjaan di kantor yang harus selesai, ada rumah tangga yang harus dijaga dan dipertahankan, ada diri-sendiri yang perlu disayang. Setiap harinya, aku berkutat dengan satu hal dan hal lainnya.

Seperti halnya orang normal, aku yang dewasa juga kadang bersedih. Aku bersedih untuk hal-hal yang terlewat di masa lalu, aku bersedih untuk kesalahan-kesalahan besar dan kecil yang kubuat — aku bahkan kadang sedih ketika salah memilih rute menyetir atau tidak dapat duduk di bangku kereta.

Pada dasarnya, sebagai orang dewasa aku sama saja dengan diriku beberapa waktu lalu; baik ketika aku anak-anak maupun remaja. Bedanya hanya kini aku merasa aku sangat sibuk, dan dengan kesibukan itu, kesedihan memelukku dengan cukup rapuh.

Dalam sedihku, tidak seperti ketika aku masih anak-anak atau remaja, otak dan hatiku jarang mau sinkron. Misalnya bekerja sama untuk menemaniku menangis ketika sedih. Nggak. Sekarang aku sulit sekali meminta otakku menuntun air mata mengalir ketika hatiku sedang porak-poranda.

Sekarang, rasanya ketika sedih aku cuma ditertawakan oleh otakku. Katanya, “Orang-orang kayak kamu ini harusnya tidak ada waktu buat gini-ginian. Dah sana kerja aja. Paling nggak kalau kamu kerja tuh kamu punya duit. Duit bisa menghiburmu lebih baik dari air mata.”

Lalu aku pun menurut. Aku bekerja dalam kesedihan.

Pada kesedihan yang lain, alih-alih menangis sepanjang jalan, aku memutuskan menyetir kendaraanku ke tempat pijat. Lalu aku menghabiskan 90 menit waktuku untuk relaksasi dalam kesedihan.

Setelah itu, masih dalam kesedihan, aku menikmati makanan yang enak. Herannya aku tetap sedih. Meski dalam kesedihanku sebagai orang dewasa, aku melakukan banyak hal yang menyenangkan.

Aku kerap bertanya-tanya pada diriku yang dewasa, apakah kesedihan seperti ini lebih baik? Mungkin. Kurasa setelah dewasa, hidupku jauh membaik.

Bayangkan, aku bisa ke toko buku dan membeli banyak buku yang entah kapan kubaca. Aku bisa membeli baju yang lebih sering bertumpuk di lemari. Atau membeli makanan mahal yang tidak lama kemudian diproses menjadi tai.

Kesedihan sebagai orang dewasa sungguh membingungkan bagiku. Sebab di satu sisi aku bersedih. Namun, di sisi lain kesedihan membawaku pada hal-hal menyenangkan –atau lebih tepatnya aku melarikan diri, sejauh-jauhnya dari bayangan sedihku saat ini.

Belakangan ini, setelah dihampiri banyak sekali kesedihan, aku memutuskan untuk menikmati setiap rasa sedih itu sebagai orang dewasa. Aku memutuskan menikmati sedih dengan serangkaian prosesi menyenangkan, aku olahraga ketika sedih, aku memesan makanan enak ketika sedih, aku jalan-jalan ketika sedih, sambil sesekali aku membayangkan betapa menyenangkan hal-hal ini telah bisa kulakukan seorang diri, sebagai orang dewasa.

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”