Millennial Atau Bukan, Kita Tetap Bekerja

Ervina Lutfi
4 min readSep 28, 2019
buku ‘anak startup’

Kata orang-orang yang lebih tua, sebagai millennial, kami ini adalah tipikal kaum pekerja yang paling menyebalkan. Dedikasi rendah, nggak loyal, cepat bosan, dan banyak tuntutan. Saya nggak tahu harus bagaimana menyikapinya.

Pertama, pendapat saya bisa jadi bias karena sejak awal bekerja, saya ada di lingkungan kerja yang sangat sedikit ‘orang yang lebih tua’ bekerja sebagai partner. Paling tua ya 30–40an tahun lah. Kedua, saya belum pernah dealing secara langsung dengan iklim korporat di daily basis saya. Kalau bekerja dalam kapasitas klien, sering, tapi kalau beneran day-to-day-nya sama mereka, belum pernah. Ketiga, saya merasa, saya nggak 100% millennial — kalau bagi kalian millennial adalah term untuk mereka yang masih haus “impact” tanpa peduli dirinya dieksploitasi.

Beberapa tahun lalu, saya mengolok-olok balik orang yang mengolok-olok pilihan orang-orang kayak saya yang bekerja ya karena butuh uang, karenanya pertimbangan gaji menjadi salah satu faktor penting. Saya menulis di Medium ini, dan ternyata cukup viral di kelompok tertentu — membuat saya digunjingkan banyak orang bahkan dicaci meski nggak ada yang berani komentar langsung di tulisan saya alias, maaf, kita beda kasta untuk urusan kritik-mengkritik ya.

Buat saya sejak dulu bekerja itu jelas. Saya memiliki sesuatu yang dibutuhkan perusahaan, saya berdedikasi untuk pekerjaan saya, dan saya dihargai sesuai dengan apa yang sudah sewajarnya saya terima — termasuk dalam bentuk gaji. Ya, saya bekerja untuk mendapat gaji tentu saja. Saya mencari aktualisasi diri, kebebasan berpikir, belajar untuk mencapai karier yang baik, memaknai hidup lebih berharga, tapi bukan berarti saya nggak butuh duit.

Jadi, saya berani berdebat dengan siapapun kalau ada yang bilang, sebaiknya sebagai millennial, dalam bekerja kita tidak usah peduli gaji, yang penting dapat memberi impact dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Kita berantem aja gimana? Hehe.

Mari kita perjelas. Sejujurnya saya jengah dengan embel-embel millennial-friendly, impact, kultur yang ‘startup’ banget, atau apapun itu yang rasanya baru ada akhir-akhir ini seiring dengan dominasi kaum millennial di dunia kerja.

“Sebaiknya mulai sekarang kita sebagai so-called ‘millennial’ harus menyuarakan keseriusan kita untuk dianggap ‘biasa’ aja. Nggak usah spesial-spesial banget, dan berhenti mengglorifikasi banyak hal yang nggak esensial.”

Kita nggak butuh kantor fancy, kalau isinya cuma orang-orang toxic. Kita nggak butuh tembok mural dengan kutipan aktivis revolusioner ataupun pebisnis sukses. Kursi-kursi cafe itu bikin sakit punggung, nggak baik untuk fisik kita yang dituntut kerja 8 jam duduk — bahkan lebih. Kita nggak butuh rumput-rumput sintetis — karena ya buat apa?!

“Kita ini.. perusahaan startup.”

Jam kerja fleksibel? Ya terserah lah, asal kerjaan dan KPI-nya jelas. Jam kerja fleksibel artinya bukan yang apa aja dikerjain nggak peduli waktu, tapi memang jam kerjanya nggak saklek di aturan 9-to-6, misalnya. Semua pekerjaan ukurannya harus jelas, meski beberapa perusahaan rintisan mungkin masih meraba-raba model bisnis dan proses kerja yang efektif itu harusnya gimana. It’s okay, yang penting jelas apa yang mau dikerjakan, apa yang menjadi ukuran dari pekerjaan kita.

“Kita pakai OKR!”

“Kita ada design sprint ya.”

Ya boleh lah, tapi juga tolong banget itu dikritisi, nggak semua case bisa seideal itu, terutama karena perbedaan kultur dan model bisnis. Again, OKR, design sprint, scrum, dan kawan-kawannya itu cuma ‘alat’ yang kita pakai untuk kerja. Yang terpenting kan kita sendiri sebagai manusianya, sebagai pekerjanya.

Ada terlalu banyak hal yang diglorifikasi padahal nggak ada esensialnya cuma untuk embel-embel bahwa sebuah pekerjaan atau kantor itu ‘millennial’ banget. Padahal, sebenernya kita nggak butuh itu. Atau lebih tepatnya, bukan itu yang kita butuhkan.

Sebagai anak yang masih haus tubir, di satu sisi saya senang dengan iklim yang totally berubah dari kehidupan “kantor” yang serba kaku. Sebenarnya saya juga nggak bisa bayangin kok, kalau harus kerja serba hierarkis dengan birokrasi yang rumit kayak kantor-yang-nggak-millennial-banget gitu. Tapi, di satu sisi, menurut saya penting untuk ditanamkan bahwa meskipun kita millennial atau bukan, fokusnya kita adalah bekerja, menjalankan bisnis yang jelas.

It’s okay belum ada SOP, maka kita bikin SOPnya. Kantor udah fancy, maka harus didukung juga dengan kultur yang sehat dan grooming. Jam kerja fleksibel, well, atur kerjaan seefektif mungkin, jangan seenaknya — dari kedua pihak. Belum bisa ngasih uang lembur dan bonus, nggak papa, bilang aja memang bisnisnya belum stabil bahkan mungkin belum punya revenue, tapi please, nggak usah bilang kalian harus bekerja demi passion buat uang. Bilang aja emang mampunya segini, itu lebih clear dan nggak berlebihan.

Terakhir dan yang penting banget, berhenti mengatakan “kita ini perusahaan startup, jadi culturenya startup banget” untuk apologi ketidakbecusan membangun sistem dan rencana kerja yang jelas.

Millennial nggak bego-bego amat kok.

--

--

Ervina Lutfi

In this writing, I delve into my inner thoughts and reflections.