Orang-orang Penting

Aku tiba-tiba teringat ada sebuah peristiwa yang menjadi asal-muasal perjalananku sampai di titik ini.

Ervina Lutfi
3 min readJun 23, 2023
source: pexels.com

Semalam bertepatan dengan ulang tahun Kota Jakarta, aku menulis post panjang di Instagram; bercerita betapa tiba-tiba tujuan hidupku berubah dari yang semula ingin menjadi psikolog sekaligus ibu dan istri yang baik, yang mendukung karier suami di manapun dia kerja, tinggal dan berumah di Bandung, menjadi.. pokoknya ke Jakarta lah. Nggak tahu ada apa, tapi ke Jakarta aja lah pokoknya.

Hari itu mungkin tahun 2015 aku lupa tepatnya, bersama dengan seorang temanku, aku bersafari dengan mengunjungi orang-orang yang pernah jadi mentor kami di kompetisi-kompetisi startup yang pernah kami ikuti sebelumnya.

Bayangin. Kami anak kuliahan, bolos kelas, untuk ngetrip ke Jakarta dari Jogja naik kereta ekonomi, untuk mengunjungi salah satu dari orang-orang paling berpengaruh di sebuah perusahaan.

Apa yang ada di pikiran kami waktu itu?

Ketika lewat bertahun-tahun sejak hari itu, dan setelah bertahun-tahun pula kami bekerja, aku baru menyadari betapa anehnya kami waktu itu. Aku nggak habis pikir apa yang ada di kepala kami; antara suwung, nggak tahu diri apa gimana?

Tapi yang lebih aku nggak habis pikir, kok bisa ya mereka menyempatkan waktu untuk menemui kami? Kok bisa ya, mereka, yang aku yakin sibuk parah dengan kerjaannya, menyempatkan waktunya untuk duduk dengan kami, menyapa, ngobrol, bahkan menyuruh salah satu managernya untuk mengajak kami office tour karena beliau ada meeting.

Dan aku nggak habis pikir, bagaimana persepsi C-level di sebuah perusahaan melihat kelakukan anak-anak kampung yang tingkahnya senekat dan seaneh kami waktu itu. WKWK. Kadang aku ketawa kalau ingat kekonyolan-kekonyolan kami ketika masih cupu-cupunya, sekaligus menggebu-gebunya waktu itu.

Namun demikian, satu hal yang kemudian aku sadari adalah.. tanpa akumulasi peristiwa itu, termasuk yang paling goblok-gobloknya, barangkali aku tidak akan punya nyali untuk cabut aja ke Jakarta meski harus bolos kuliah satu semester. Barangkali aku kemudian nggak sekekeuh itu ingin bekerja di industri ini. Barangkali aku nggak punya mental seperti ini. Dan barangkali aku nggak akan berdiri di tempatku yang sekarang ini.

Aku berterima kasih kepada semua orang yang secara langsung maupun tidak langsung ternyata sangat berkontribusi pada keputusan-keputusan anak kampung sepertiku yang ketika kuliah nggak tahu mau jadi apa atau ngapain setelah lulus.

Meski mereka orang yang penting dan sangat sibuk, ternyata mereka sehumble itu untuk ‘berurusan’ dengan orang lain yang bahkan bisa dibilang nothing. Mereka bersedia ditanyain hal-hal yang konyol, menerangkan hal-hal super sederhana; udah kayak professor ngajar anak SD.

Secara nggak langsung, aku jadi seperti disentil tapi pake tombak ketika dengan posisiku yang masih kentang banget kayak gini, udah merasa si paling matters, si paling sibuk dengan kerjaan, si paling males ngurusin anak-anak cupu, atau si paling itung-itungan ini ada benefitnya atau nggak buat aku ketika melakukan A, B, C.

Rasanya kayak.. OMG dulu gue pernah ditreat orang segitu baiknya ya ternyata. Orang yang melakukan hal-hal secara cuma-cuma, yang nggak kepikiran ‘manfaatnya apa buat gue’ ─ secara ya emang nggak ada manfaatnya sih buat mereka selain nyusahin. WKWK.

***

Kalau ada yang penasaran siapa orang-orang yang kami temui waktu itu dan mengapa sekarang aku merasa peristiwa itu sangat meaningful — at least buatku, mereka adalah Mas Kaspar Situmorang dan Pak Kusumo Martanto.

Silakan googling sendiri dan bengong kenapa orang sepenting mereka ternyata sehumble dan sebaik itu bahkan sama mahasiswa cupu yang nggak ada tampang-tampang calon Forbes 30 Under 30 kayak kami.

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”