Oversimplified

Tulisan ini sekaligus memperingati 25 tahun usia saya saat ini.

Ervina Lutfi
3 min readSep 30, 2020

Jujur saja tadinya platform ini saya maksudkan untuk tulisan-tulisan saya yang lebih ‘niat’. Entah saya berniat menulis fiksi yang lumayan punya nilai cerita, ataupun esai-esai naratif mengenai pengembangan diri, karier, dan lain sebagainya.

Apa daya. Pekerjaan bertubi-tubi menyita waktu, tenaga, dan pikiran saya untuk hanya fokus satu hal: leads generation.

Pandemi membawa babak baru dalam perjalanan karier saya selama ini. Masih ingat bahwa dulu sekali saya selalu mengatakan pada orang-orang, saya ingin jadi digital nomad. Saya mau bebas bekerja dari rumah, tidak perlu ke kantor, bangun tidur langsung kerja, tapi saya punya uang — more than enough. Sekarang semua itu tercapai.

Tapi memang pada dasarnya manusia tidak pernah puas dan Tuhan karenanya mungkin kesal. “Sebenarnya kamu maunya apa sih?” gitu kira-kira jika Dia bisa bicara langsung pada saya.

Kini genap enam bulan saya bekerja dari kamar saya yang belakangan juga sebagai tempat saya melakukan workout, meditasi, makan, memasak — kadang-kadang. Namun, meski dalam hati saya mengutuki kenapa saya mesti bangun pagi dan bekerja, di satu sisi, saya merasa sangat bersyukur atas apapun yang saya miliki dalam enam bulan terakhir ini.

Bagaimana rasanya menjadi ‘anak baru’?

Sekitar empat tahun lalu, saya pernah mengalaminya. Rasanya aneh, kikuk, apalagi pengalaman bekerja dengan orang-orang di Jakarta ternyata sesignifikan itu bedanya ketika saya harus bekerja dengan orang-orang yang ‘Jogja banget’ di kantor. Namun, toh saya melaluinya. Hampir tida tahun saya di sana, dan setelah perpisahan yang biasa-biasa saja — tidak ada sedih-sedihnya sama sekali — akhirnya fase itu terulang lagi.

Setahun lalu saya memulainya; sebagai Product Marketing Manager — terdengar menarik, kan?

Meski tidak ‘se-baru-itu’ pada awalnya perasaan aneh, kikuk, dan asing tetap menyelimuti saya. Saya selalu berpikir bahwa ketika di tempat baru, seseorang memiliki kesempatan untuk lahir sebagai orang baru. Di sana tidak ada orang yang mengenalimu, tidak tahu masa lalumu, tidak mengenal personality-mu, dll.

Kamu bebas menentukan kamu ingin seperti apa. Tapi sepertinya saya lupa pada teori-teori perkembangan manusia yang saya pelajari di kampus, bahwa ketika usiamu 20an, pada saat itu kepribadianmu matang. Alias, kamu akan kayak gitu seumur hidupmu — mungkin.

Celakanya kepribadian saya tidak semenyenangkan itu. Maka jadilah: seorang rekan kerja yang tidak terlalu ‘hangat’ secara personal.

Oh ya, saya berhenti memikirkan hal-hal yang semestinya tidak perlu dipikirkan oleh kepala saya, misalnya pada bagaimana seseorang menilai saya secara subjektif.

Pada pekerjaan, saya berkomitmen untuk satu hal: kamu minta saya melakukan apa, ukurannya apa, ok saya akan lakukan sebisa-bisanya, semampu-mampunya, sampai titik darah penghabisan — hidup yang berat mengajari saya untuk tidak mudah menyerah, tapi.. dengan satu catatan: jangan pernah tanyakan bagaimana saya melakukannya atau seperti apa saya melakukannya. Selama saya tidak melanggar hukum, norma sosial dan agama, saya rasa itu artinya boleh.

Dua puluh lima tahun bisa menjadi usia yang sangat cukup bagi seseorang untuk bekerja dengan baik, sekaligus sangat buruk. Ada orang yang sudah melangkah sangat jauh, ada yang baru memulai. Kadang-kadang saya cuma berpikir, “Oh mungkin saya kurang sabar.”

Saya telah mengejar banyak hal hingga di titik saya mulai menanyakan apa lagi yang mesti dikejar saat ini — kenapa harus buru-buru?

Beberapa waktu terakhir saya kerap merenung sambil menghirup napas dalam-dalam. Barangkali pandemi memang menjadi momen yang seluruhnya mengubah hidup saya. Untuk lebih pelan-pelan, untuk lebih sabar, untuk lebih menikmati setiap detik yang saya lewati dengan grusa-grusu.

--

--

Ervina Lutfi

In this writing, I delve into my inner thoughts and reflections.