Perempuan Berambut Merah di Pasar Seni

Ervina Lutfi
2 min readJun 22, 2024

--

Photo by Camila Cordeiro on Unsplash

Ilmu-ilmu eksakta yang kita pelajari sejak di sekolah dasar pada dasarnya adalah ilmu-ilmu yang setiap hari kita gunakan dalam hidup. Semua hal bisa dihitung. Namun, dalam hidup yang nyata, ada terlalu banyak variabel, sehingga manusia biasa seperti kita kesulitan untuk mengontrol dan menebaknya.

Kemampuan manusia terbatas pada satuan-satuan angka. Dan kemampuan manusia mencerna satuan angka sangat terbatas pula. Matematika kita ada batas kemampuannya.

Memperkirakan pertemuan kita dengan seseorang artinya adalah berhitung tentang peluang. Kita memang selalu bisa menghitung peluang, tapi bayangkan berapa peluang kita bertemu dengan satu orang yang sangat spesifik ingin kita temui di antara ribuan orang yang datang ke Pasar Seni? Di antara dua juta warga Bandung? Di antara ratusan juta penduduk Indonesia dan 7 milyar manusia yang ada di bumi?

Aku hampir tidak pernah berpikir bahwa setelah sekian lama setelah hari itu aku bisa kembali menemuinya. Lucunya kami bertemu di tempat serandom ini, di tengah hingar-bingar lautan manusia. Mengapa dari sekian peluang yang sangat kecil itu, hal ini bisa sungguhan terjadi? Apakah ini yang namanya takdir?

Gadis itu berambut sangat merah. Warnanya agak tidak cocok dengan kulitnya yang kuning langsat seperti kebanyakan perempuan Jawa. Entah apa yang ia pikirkan, tapi rambutnya benar-benar merah. Aku sangsi dia ke kampus dengan rambut seperti itu.

Gadis itu berambut sangat merah. Warnanya menyala seperti sorot matanya yang tajam. Suara tawanya menggelegar, entah apa yang ia tertawakan bersama segerombolan orang di depannya. Entahlah. Yang jelas, mereka terlihat sangat hidup.

Dari jarak 10 meter aku sudah mencoba meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Ini sungguhan. Aku menemukannya di sini, di sebuah tempat sejauh 400km dari Yogyakarta.

“Hei! Kok kamu di sini?” sapanya dengan sumringah seperti baru kemarin kami bicara.

Aku mencoba mengorek ingatanku tentang apa yang kira-kira membuat perpecahan di antara kami terjadi. Seingatku sebelumnya kami baik-baik saja, kami berkomunikasi setiap hari sejauh jarak 400km. Tapi suatu hari entah karena masalah apa kami berhenti menyapa satu sama lain, sejak 2 tahun lalu.

“Bukannya aku yang harusnya nanya kenapa kamu ada di sini ya?” Aku bertanya balik.

“Hahaha, ini Pasar Seni! Aku pasti ada di sini lah. Kan aku sudah menunggunya dari lama. Kamu ingat?” Dia tertawa menimpaliku.

Selanjutnya aku cuma sedang dilanda perasaan bingung bercampur senang. Pun saat kemudian seorang laki-laki menariknya ke dalam kerumunan, dan perempuan itu hanya melambaikan tangannya, aku masih bergeming di tempatku. Tapi ia memberi kode untuk bertelepon.

Aku masih berdiri dalam posisi yang statis; mencoba mencerna peristiwa sepersekian waktu yang baru kualami. Apa artinya ini semua? Haruskah aku memastikan orang di sekitarku bahwa barusan aku tidak mengigau?

Aku memutuskan membuka ponselku.

Sebuah pesan masuk.

“Hi, Risjad, aku pulang duluan ya. Nice to see you!”

Bersambung.

--

--

Ervina Lutfi

“…you write because the brain is an endless wilderness, whose roughest terrain can be traveled only with a pencil.”