Twitter dan Kita Hari-hari Ini

Sebagai pengguna Twitter sejak SMP dan berganti akun 2 kali, aku rasa, Twitter menjadi salah satu saksi sejarah yang mungkin dalam beberapa dekade ke depan — kalo belum bangkrut — akan kubaca lagi sambil senyum-senyum mengingat betapa random perkembanganku sebagai manusia.

Ervina Lutfi
3 min readMar 18, 2021
fighting by unsplash

Ada suatu masa di mana aku masih sering kenalan dengan orang dari Twitter, sepik-sepikan di Twitter, sampai patah hati di Twitter. Masa kuliahku tidak kalah nanggung. Ada waktu di mana aku jadi mahasiswa super idealis, mahasiswa yang jarang kuliah, sampai mahasiswa yang merangkap fulltimer yang lebih sering ngantor daripada ngampus.

Berkat Twitter, aku dapat pekerjaan pertamaku sebagai ‘social media specialist’ yang waktu itu dikenalnya ya admin aja gitu sih. Twitter pula yang mengantar mahasiswa psikologi sepertiku untuk nyemplung di dunia digital marketing.

Sampai akhirnya aku dewasa dan malu dengan twitku sendiri. Aku malu dengan twit receh galau jaman dighosting orang, malu dengan sepik-sepikan yang mungkin nanti dibaca suamiku, dll. Akhirnya aku mengalokasikan beberapa waktu untuk sekadar bersih-bersih, memastikan tidak ada ‘sampah’ yang tersisa, lalu menggembok akun.

Menggembok Twitter adalah pilihan yang bijak saat ini jika kamu masih memutuskan untuk menggunakan akun asli. Bagaimana tidak? Twitter sekarang seperti sebuah rumah petak transparan dengan banyak tetangga yang usil.

Aku merasa dulu Twitter seperti terminal. Kita bisa bebas teriak-teriak dan orang paling cuma akan nengok sebentar, tapi terus yaudah, karena mereka punya tujuan untuk ditempuh dengan bis-bis yang akan membawa mereka masing-masing.

Tapi sekarang Twitter tidak lagi seperti itu. Orang-orang di Twitter bukan lagi seperti orang di terminal yang punya tujuan dengan bis masing-masing. Mereka lebih seperti tetangga yang usil. Dan kita, sayangnya hidup di rumah petak transparan, di mana semua hal jadi terlihat oleh mereka.

Hal-hal yang tadinya akan dilihat sebentar dan lewat gitu aja karena orang-orang buru-buru, sekarang jadi lebih awet karena mereka ‘tinggal’ di sana lewat deretan trending topic dan algoritma jahat yang tentu saja semakin lama kita menetap, mereka akan merasa semakin senang.

Menggunakan Twitter hampir setengah masa hidupku, membuat aku tahu bahwa orang berubah — pun dengan pikiran-pikirannya. Twitku tentang bekerja saat ini mungkin akan tidak relevan jika dibaca 5 tahun lagi. Pun twitku mengenai pernikahan, studi, dan masih banyak lainnya.

Pada beberapa hal, kita akan menganut sebuah nilai yang pandangan kita terhadapnya mungkin tidak berubah. Namun, pada beberapa nilai yang lain, kita pasti akan berubah.

Sebab, sejatinya manusia — seperti dulu pernah kutulis — seperti setengah lingkaran dengan diameter yang tidak berbentuk. Diameter itu menggambarkan diri kita, meliputi sifat, pandangan-pandangan, pun apa yang diyakininya terhadap sesuatu. Twitter adalah media di mana banyak hal dari hidup kita akan terbaca dalam deretan kalimat-kalimat, seperti juga blog ini.

Namun, Twitter, seperti kita, juga akan mengikuti perubahan pemiliknya. Barangkali orang-orang di sana sekarang sudah tak begitu sibuk. Barangkali mereka yang dulu sedang dalam perjalanan di terminal, sekarang sudah sampai di tujuan masing-masing.

Lalu apa sih, yang diharapkan dari berdiam diri di rumah — selain membuat keributan-keributan tetap ada?

--

--

Ervina Lutfi

In this writing, I delve into my inner thoughts and reflections.